Senin, 21 November 2011

Perubahan Iklim

Pembahasan isu perubahan iklim saat ini terfokus pada pembahasan mengenai pengaturan perubahan iklim pasca 2012, khususnya komitmen negara-negara maju untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagai tindak lanjut periode komitmen pertama Protokol Kyoto. Salah satu penyebab berlarutnya negosiasi dimaksud antara lain disebabkan keengganan negara maju untuk berkomitmen menurunkan emisi GRK nasional-nya tanpa keikutsertaan negara berkembang dan alotnya pembahasan mengenai dukungan pendanaan dan teknologi dari negara maju kepada negara berkembang.


Pertemuan COP-13 tahun 2007, di Bali telah menghasilkan terobosan dalam pembahasan isu perubahan iklim melalui (i) Bali Action Plan (BAP) dan Bali Roadmap; serta (ii) Operasionalisasi Adaptation Fund. Dari sisi proses, disepakati pembahasan BAP melalui Ad-hoc Working Group on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) yang akan diselesaikan di COP-15, Kopenhagen.

Pertemuan COP-16/CMP-6 di Cancun, Meksiko, 29 November – 10 Desember 2010 berhasil menyepakati Cancun Agreements, yang diharapkan dapat mendorong tercapainya legally binding outcome pada COP-17/CMP-7 tahun 2011. Pada hakikatnya, Cancun Agreements dihasilkan secara party driven, namun dengan mengupayakan tercapainya kompromi posisi diantara Para Pihak (balanced package).

Cancun Agreements merupakan kumpulan 25 keputusan yang berhasil disepakati, baik dalam kerangka COP-16 maupun CMP-6, dengan 2 (dua) dokumen utama yaitu:

a. Decision 1/CP.16, berisi teks negosiasi sebagai hasil kompromi dari proses AWG-LCA, yang memuat building blocks BAP, yaitu shared vision, adaptasi, mitigasi, pendanaan, technology development and transfer dan capacity building.

b. Decision 1/CMP.6 memperpanjang mandat AWG-KP untuk meneruskan pembahasan periode komitmen kedua Protokol Kyoto, dengan memperhatikan kemajuan pembahasan yang telah dihasilkan pada pertemuan Cancun. Keputusan ini juga mencatat komitmen (pledge) economy-wide emission reduction target Annex 1 parties dan mengamanatkan peningkatan level ambisi negara-negara dimaksud. Keputusan ini mengindikasikan emission trading dan project-based flexibility mechanism harus tetap tersedia, bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan terkait land use, land use change forestry (LULUCF) dalam upaya penurunan emisi GRK di tingkat global.

Meskipun hasil dari Cancun belum secara komprehensif merefleksikan konsideran-konsideran utama negara berkembang, namun kesepakatan tersebut diharapkan dapat menjadi batu pijakan dalam mengupayakan tercapainya legally binding instrument pada COP-17/CMP-7 di Durban.

Indonesia akan senantiasa mengedepankan pentingnya pembentukan rejim baru perubahan iklim paska tahun 2012 yang merefleksikan amanat Bali Roadmap dan Bali Action Plan (BAP) yang mencakup isu mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, pendanaan dan shared vision.

Dalam berbagai kesempatan baik di pertemuan formal dan informal, Indonesia secara konsisten menyampaikan pentingnya penyelesaian mandat BAP dan menekankan pentingnya pencapaian legally binding outcome pada perundingan perubahan iklim. Indonesia juga terus mendorong negara-negara yang terlibat dalam negoisasi untuk mempertimbangkan satu hasil yang realistis dan dapat diterima semua pihak, dengan mengedepankan fleksibilitas atas posisi masing-masing negara

Penghargaan masyarakat internasional terhadap peran aktif Indonesia guna mendorong kemajuan dalam perundingan perubahan iklim juga tercermin dari undangan Perdana Menteri Norwegia kepada Presiden RI untuk secara bersama memimpin pertemuan Oslo Climate and Forest Conference pada tanggal 26-27 Mei 2010. Pertemuan ini merupakan implementasi komitmen yang telah dicantumkan dalam CA untuk mendorong implementasi pendanaan awal kegiatan REDD+ sebagai perwujudan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Oslo Climate and Forest Conference menjadi momentum peluncuran kemitraan Interim REDD+ Partnership Arrangement, yang selain diharapkan dapat mengkoordinasikan tindak lanjut aksi dan pendanaan awal bagi konservasi hutan secara efektif dan efisien, juga untuk mendukung proses perundingan menyangkut isu REDD di UNFCCC. Inisiatif ini pada waktunya akan diganti dengan mekanisme UNFCCC termasuk REDD+ sebagai hasil proses perundingan.

Ke depan, diharapkan Indonesia dapat terus konsisten dengan peran yang aktif dan konstruktif dengan mendorong negara-negara pihak agar dapat lebih fleksibel dalam mengupayakan kompromi, dengan tidak mengorbankan kepentingan nasional, khususnya kepentingan negara berkembang. Hal ini penting kiranya untuk mendorong keberhasilan mencapai legally binding outcome, seperti yang dimandatkan oleh BAP.

Indonesia juga memandang penting ekosistem laut dan pesisir yang berkelanjutan sebagai komponen yang akan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan laut dan pesisir sangat penting dalam mendukung ketahanan tersebut dalam rangka adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada laut. Dalam rangka adaptasi, diperlukan pertukaran pengalaman dan best practices serta peningkatan penilaian kerentanan laut dan pesisir terhadap dampak perubahan iklim untuk memfasilitasi pelaksanaan aksi adaptasi.

Pembahasan isu perubahan iklim juga telah memasuki tahap baru sebagai upaya mencari “terobosan” baru di luar perundingan dalam kerangka UNFCCC misalnya melalui MEFEC (Major Economies Forum on Energy and Climate), Pertemuan Tingkat Menteri OECD dan dalam forum G 20. Forum G-8 dan MEFEC merupakan forum “informal” dalam pembahasan isu perubahan iklim dengan pendekatan yang lebih luas dan realistis mengingat komposisi MEFEC yang melibatkan “aktor kunci” dalam konstelasi politik dan ekonomi saat ini.


Sumber :
http://www.kemlu.go.id/Pages/IIssueDisplay.aspx?IDP=5&l=id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar